Fenomena pekerja di bawah umur merupakan sebuah isu internasional. Anak-anak yang seharusnya sedang berada pada fase belajar, namun harus bekerja ini disebabkan oleh banyak faktor kompleks, seperti kemiskinan hingga rendahnya pendidikan orang tua.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat bahwa terdapat 160 juta jiwa anak-anak yang bekerja di dunia. Dari seluruh jumlah itu, 75% berada di Afrika, 7% di Amerika Latin, dan 18% di Asia. Di Indonesia sendiri, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terdapat 2,3 juta anak yang bekerja. Mayoritas berada di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, dan Papua.
Secara hukum, Indonesia sendiri telah memiliki pasal tentang hal ini. Pasal tersebut terdapat dalam Undang-Undang Konvensi Hak Anak (KHA) dalam Keputusan Presiden Indonesia No. 36 Tahun 1990, yang menyatakan bahwa anak mempunyai hak untuk dilindungi dari segala bentuk eksploitasi ekonomi serta setiap bentuk pekerjaan yang dapat mengganggu pendidikannya, membahayakan kesehatannya, serta mengganggu tumbuh kembangnya.
Namun di Indonesia saat ini, isu pembangunan tampaknya lebih penting daripada isu banyaknya pekerja dibawah umur. Banyaknya pembangunan, eksploitasi alam, serta bermacam isu-isu soal kebijakan pemerintah saat ini, rata-rata condong pada faktor ekonomi, tanpa memperhatikan faktor kedepannya. Terutama pendidikan dan kesejahteraan masyarakat.
Kompleksitas Sebab, Solusi dan Akibat
Sebagai negara berkembang, tidak bisa dipungkiri bahwa akan susah sekali memutus rantai eksploitasi pekerja di bawah umur. Selain faktor kemiskinan atau rendahnya angka kesejahteraan, tingginya angka pernikahan dini serta tidak tegasnya penegak hukum dalam menindak tempat kerja yang mempekerjakan anak di bawah umur juga merupakan salah satu faktor.
Namun, sebagai warga negara, kita tetap harus berpikir manusiawi dan membumi dalam memandang fenomena ini. Meskipun terkadang data-data atau fakta akademis membuat saya meringis dan marah terhadap fenomena tingginya pekerja dibawah umur. Terkadang saya berpikir, bahwa alasan penegak hukum tidak segera menindak hal tersebut bahwa mereka sadar, situasi ekonomi sedang susah.
Namun, sebagai aparat atau orang yang berwenang, sudah seharusnya memandang dari sudut pandang berbeda. Sudah seharusnya pihak berwenang menegakkan regulasi tentang pekerja dibawah umur, serta menyediakan solusi alternatif untuk membantu anak-anak yang kurang secara ekonomi dalam pendidikannya.
Tentu klise jika kita terus berbicara soal beasiswa pendidikan sebagai sebuah solusi tunggal, kita harus punya alternatif lain. Mengingat rata-rata prosedur beasiswa pendidikan itu rumit. Harus mengurus bermacam-macam berkas terlebih jika sasaran beasiswa adalah anak yang tidak mampu, maka mereka akan lebih memilih untuk bekerja daripada membuang-buang waktu mengurus berkas beasiswa yang belum tentu mereka dapatkan karena masih harus diseleksi.
Jika pemerintah terus abai, dampak dari isu ini berlangsung berkepanjangan dan menjadi seperti mata rantai. Artinya, isu seperti ini akan terus ada sampai kapan pun apabila tidak kita putus satu mata rantainya. Pemerintah harus jeli dalam menangkap penyebab utama dan fundamental sehingga harapannya isu seperti ini segera mereda.
Penanganan pekerja anak di keluarga harus menyentuh pada masalah perencanaan keluarga dalam sebuah rumah tangga. Dengan mengharuskan edukasi pranikah serta perencanaan memiliki anak terintegrasi, merupakan beberapa solusi untuk mengurangi permasalahan ini.
Editor : Angela Wida Prastica