Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang dinamis mengalami berbagai perkembangan dalam hal kosakata dan pemakaian. Salah satu fenomena yang sering terjadi adalah kekeliruan dalam penggunaan kata yang memiliki bentuk mirip, tetapi memiliki perbedaan dalam kaidah bahasa baku.
Salah satu contohnya adalah penggunaan kata “hembus” dan “embus”. Meskipun terdengar serupa, tetapi memiliki posisi berbeda secara morfologis dan normatif.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bentuk dasar yang benar adalah “embus”. Kata “embus” memiliki arti ‘tiupan’ atau ‘gerakan udara’ dan dapat digunakan dalam berbagai bentuk turunan, seperti:
- Mengembus: meniupkan, meniup ke arah.
- Mengembuskan: mengeluarkan napas atau udara melalui mulut atau hidung.
- Embusan: bentuk hasil atau produk dari mengembus.
Sementara itu, bentuk “hembus” sebenarnya bukan bentuk dasar, melainkan merupakan bentuk yang muncul dari pengimbuhan dan pelesapan awalan.
Namun, dalam praktik sehari-hari, masyarakat sering keliru menggunakan “hembus” sebagai bentuk dasar, bahkan menggunakannya sebagai dasar kata turunan seperti “menghembuskan”, yang secara kaidah tidak baku.
Kesalahan penggunaan kata “hembus” ini umum ditemukan baik dalam lisan maupun tulisan, termasuk dalam media massa dan karya ilmiah.
Berikut contoh penggunaan kata dasar “embus” yang tepat.
- Ia mengembuskan napas terakhirnya.
Penggunaan kata dasar “embus” dalam kalimat (1), sangat tepat dengan pembentukan kata awalan ‘me(N)-’ + kata dasar ‘embus’ + akhiran ‘kan’, yang berarti mengeluarkan napas dari mulut atau hidung.
- Angin malam mengembus wajahku.
Penggunaan kata dasar “embus” dalam kalimat (2), sangat tepat dengan pembentukan kata awalan ‘me(N)-’ + kata dasar ‘embus’, yang berarti meniupkan atau meniup ke wajah.
Kesalahan ini mungkin disebabkan oleh proses fonologis berupa asimilasi dan peluluhan awalan yang sering terjadi dalam bahasa tutur sehingga bentuk “hembus” terdengar lebih natural bagi sebagian penutur.
Fenomena pergeseran dari “embus” ke “hembus” memperlihatkan bagaimana pengaruh lisan dapat mengubah persepsi masyarakat terhadap bentuk baku.
Dalam bahasa lisan, pelafalan sering kali dipengaruhi oleh eufoni atau kenyamanan bunyi, yang membuat kata “hembus” lebih lazim digunakan. Namun, dalam konteks formal dan akademik, penggunaan bentuk tidak baku ini menjadi bentuk kesalahan yang perlu diluruskan.
Penggunaan kata “embus” dan “hembus” merupakan contoh kecil dari banyaknya persoalan kebahasaan yang muncul akibat kelalaian terhadap bentuk dasar kata.
Meskipun terlihat sepele, penggunaan kata yang tepat akan menunjang ketepatan komunikasi dan menunjukkan kemahiran berbahasa.
Editor: Salsabila Dwianugraheni