“Umur adalah angka tiada tua yang harus pupus disaat semangat masih melekat didalam diri seseorang yang berniat kerja”.
Di antara deretan rumah di Gang Gatotkaca, Caturtunggal, Sleman, aroma masakan seringkali menjadi penanda pagi. Sekira pukul lima, saat sebagian besar penghuni rumah masih terlelap, satu sudut keci,l di sebuah rumah berpagar coklat mulai sibuk dengan suara tumisan dan uap nasi. Di sanalah, Ibu Mo, 65 tahun, memulai harinya.
Mo bukanlah pemilik warung makan besar. Ia tidak punya spanduk mencolok atau papan menu yang meriah. Yang ia miliki hanyalah meja kecil di teras rumah dan semangat yang tak pernah surut. Dari sanalah ia menjajakan nasi murah seharga Rp5.000 lengkap dengan nasi, sayur, dan satu lauk sederhana. Untuk sebagian besar mahasiswa kos di sekitarnya, masakan Mo lebih dari sekadar makan pagi, itu penyelamat di akhir bulan.
“Masakan saya nggak istimewa, yang penting bersih dan bisa bikin kenyang,” ujarnya pelan, sambil menuang sayur ke dalam bungkus kertas coklat.
Dari Dapur ke Teras, Lalu ke Hati Mahasiswa
Warung kecil itu mulai buka pukul enam pagi. Ibu Mo sudah memulai aktivitasnya sejak pukul empat. Tak ada asisten atau pegawai yang membantunya. Semua dilakukan sendiri mulai dari menanak nasi, memasak sayur, hingga membungkus.
Menunya berganti setiap hari, tergantung bahan yang ia miliki. Kadang sayur sop, kadang oseng tempe, atau sambal tahu. Lauknya pun sederhana. Tapi satu hal yang tak berubah: porsinya cukup mengenyangkan dan harganya tak memberatkan kantong mahasiswa.
Dalam sehari, ia bisa menjual sekitar 30 hingga 50 bungkus nasi. Beberapa mahasiswa datang terburu-buru sebelum kuliah, beberapa lainnya makan langsung di tempat, di atas bangku plastik di halaman rumahnya.
Tidak Pernah Kursus, Hanya Bermodal Ketulusan
Ibu Mo mengatakan tak pernah belajar memasak secara formal. Semua ia pelajari dari pengalaman hidup. Sejak muda, ia memasak untuk keluarganya. Kini, di usia senja, ia tetap memilih untuk aktif bukan demi keuntungan besar, melainkan demi merasa berguna dan bisa membantu mereka yang sedang merantau.
“Ada yang bilang masakan saya kurang berbumbu. Ya nggak papa. Saya nggak tersinggung. Lidah orang beda-beda,” katanya santai.
Ia menyadari, bukan rasa yang membuat pelanggan kembali, melainkan ketulusannya.
Tak Perlu Viral, Cukup untuk Bisa Berbagi
Di era di mana banyak orang berlomba memviralkan dagangan lewat media sosial, Ibu Mo justru memilih cara lama. Ia tidak memiliki akun Instagram bisnis, tidak pula terdaftar di layanan pesan-antar daring. Bahkan untuk urusan ponsel, ia hanya mengandalkan WhatsApp. “Kalau viral nanti malah repot. Saya kerja sendiri. Nggak sanggup kalau pesanan banyak-banyak,” ucapnya, sambil tertawa kecil.
Baginya, berjualan cukup sekadar untuk memenuhi kebutuhan harian. Ia tak pernah menargetkan omzet tinggi. “Kalau bisa bantu orang dan tetap sehat, itu sudah cukup,” katanya.
Tak Berniat Berhenti
Meski usianya sudah terbilang senja, Ibu Mo belum ada niat untuk berhenti. Ia merasa tubuhnya masih sanggup untuk bangun pagi dan memasak. Selama itu masih mungkin, ia akan terus melayani para pembeli, terutama para mahasiswa yang ia anggap seperti anak-anak sendiri.
Felix, salah satu mahasiswa pelanggan tetapnya, mengaku bahwa bukan rasa yang membuatnya kembali, tetapi suasana dan keramahan Ibu Mo. “Kadang ya rasanya biasa aja, tapi kebaikannya yang bikin kita balik lagi,” ucapnya.
Di sebuah sudut kecil kota Yogyakarta, lewat nasi murah di teras rumah, Ibu Mo menunjukkan bahwa kepedulian bisa hadir dari hal-hal sederhana. Bukan dari rasa yang sempurna, melainkan dari niat tulus yang konsisten setiap pagi, tanpa pamrih.
Editor: Andrea Arinda Pramudita Wulandari.