
Dalam sejarah dan kehidupan sehari-hari, tubuh perempuan sering kali menjadi ruang paling sunyi sekaligus paling ramai diperebutkan, diatur, dilukai, bahkan dihapus dari narasi besar bangsa.
Lewat karya sastra dan catatan hidup, suara perempuan bangkit: mengungkap luka kekerasan seksual, menolak sunyi patriarki, dan membangun kekuatan dari trauma.
Infografik ini merekomendasikan lima buku penting yang tak hanya menyuarakan penderitaan, tapi juga memperlihatkan bahwa membaca adalah langkah awal dari keadilan dan empati adalah bentuk paling dasar dari revolusi.
“Laut Bercerita”- Leila S Chudori
Dalam novel ini, Leila S. Chudori menghadirkan dua sisi dari luka bangsa: dari seorang aktivis yang menghilang tanpa jejak, dan dari keluarga yang ditinggalkan dalam ketidakpastian.
Kisahnya mengikuti Biru Laut, mahasiswa yang bergabung dalam gerakan bawah tanah melawan rezim Orde Baru. Setelah ditangkap dan disiksa, Laut dan rekan-rekannya hilang diduga menjadi korban penghilangan paksa.
–
Melalui narasi yang lirih dan menyayat, Laut Bercerita mengangkat tema kekerasan negara, penyiksaan, serta trauma kolektif yang ditanggung perempuan sebagai saksi, penyintas, dan penjaga ingatan.
“Saman’ – Ayu Utami
Saman adalah novel revolusioner yang menandai lahirnya gelombang sastra perempuan Indonesia pasca-Reformasi. Melalui tokoh-tokoh perempuan urban seperti Shakuntala, Yasmin, Cok, dan Laila, Ayu Utami membongkar tabu seputar seksualitas, tubuh, agama, dan kekuasaan.
Cerita berlapis ini mengikuti perjalanan Saman – mantan pastor yang menjadi aktivis HAM bagaimana kisahnya bertaut dengan
perempuan-perempuan yang mencoba merebut
kembali agensi atas tubuh dan hidup mereka di tengah represi sosial dan politik.
Dengan gaya puitis, eksperimental, dan berani, Saman
tidak hanya bicara soal cinta atau seks, tapi juga
tentang bagaimana tubuh perempuan dijajah oleh negara, norma, dan bahkan cinta itu sendiri.
“Perempuan Di Titik Nol”- Nawal el – Saadawi
Novel ini mengangkat kisah nyata seorang perempuan Mesir bernama Firdaus yang menjalani hukuman mati atas tuduhan membunuh lelaki yang memperkosanya. Melalui wawancara penulis dengan Firdaus di penjara wanita, cerita ini menyingkap perjalanan hidup perempuan tersebut yang penuh dengan kekerasan, pelecehan, dan penindasan sistemik dari keluarga, masyarakat, hingga institusi negara.
Firdaus menggambarkan bagaimana tubuh dan kebebasan perempuan terus dijajah oleh patriarki, dan bagaimana dia akhirnya mengambil keputusan ekstrem sebagai bentuk perlawanan terakhir. Novel ini adalah seruan kuat melawan kekerasan seksual dan ketidakadilan gender, yang membuka mata pembaca pada realitas pahit yang dihadapi banyak perempuan di dunia.