Yogyakarta – Pada 10 Juni 2025, Menteri Kebudayaan Fadli Zon, menjadi tamu dalam podcast Real Talk bersama Uni Lubis, di kanal YouTube IDN News. Dalam diskusi tersebut, Fadli menyatakan bahwa kasus pemerkosaan massal, Mei 1998 hanyalah “rumor” tanpa bukti konkret.
“Ada pemerkosaan massal? Betul enggak? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di buku sejarah? Enggak pernah ada,” ucapnya dalam podcast.
Pernyataan ini langsung memicu gelombang kecaman dari aktivis HAM, korban, dan sejarawan. Ita Fatia Nadia, relawan pendamping korban 1998, menyebut Fadli sebagai “pembohong publik”, sedangkan Amnesty International mengecamnya sebagai “kekeliruan fatal” yang mengabaikan laporan resmi negara.
Fadli mengklaim tidak ada bukti pemerkosaan massal, padahal Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Presiden Habibie pada 1998, telah mendokumentasikan: 52 kasus perkosaan, 14 kasus perkosaan disertai penganiayaan, dan 10 kasus kekerasan seksual. Mayoritas korban adalah perempuan Tionghoa, dengan kejadian di Jakarta, Medan, dan Surabaya.
Laporan ini bahkan diakui oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat dan menjadi dasar pembentukan Komnas Perempuan. Namun, Fadli bersikeras bahwa revisi sejarah harus “mempersatukan bangsa” dengan menghindari narasi negatif .
Debat Panas: Narasi Perempuan dalam Sejarah
Podcast itu berubah menjadi pertarungan wacana ketika Uni Lubis mengkritik minimnya representasi perempuan dalam sejarah Indonesia, dengan menyindir frasa “history = his + story” (sejarah = cerita laki-laki). Fadli menanggapi bahwa proyek revisi bukunya akan “memperbaiki ketimpangan ini”, tetapi tetap menolak memasukkan kasus Mei 1998 dengan alasan “tidak tercatat resmi”.
Aktivis perempuan seperti Kamala Chandrakirana menuding Fadli sebagai bagian dari “budaya penyangkalan” yang telah berlangsung sejak era Orde Baru .
Fadli menjelaskan bahwa, revisi sejarah Indonesia yang terakhir kali dilakukan 26 tahun lalu—adalah program prioritas Presiden Prabowo untuk HUT ke-80 RI pada Agustus 2025. Ia menekankan: Pemerintah hanya sebagai fasilitator, melibatkan 113 sejarawan independen. Fokus pada narasi positif, seperti keanekaragaman budaya dan kemajuan ekonomi. Menghilangkan “monopoli pemerintah” dalam penulisan sejarah.
Namun, draf yang bocor ke BBC Indonesia menunjukkan penghapusan tujuh tragedi HAM berat, termasuk Mei 1998, Trisakti, dan 1965 . Koalisi sipil menuding ini sebagai upaya sistematis menghapus jejak Orde Baru.
Komnas Perempuan, menyebut penyangkalan Fadli “melecehkan korban” dan mengancam semangat reformasi. Amnesty International, menegaskan klaim Fadli bertentangan dengan dokumen resmi negara, termasuk laporan TGPF yang ditandatangani menteri-menteri era Habibie .
Tagar #FadliZonMintaMaaf trending di Twitter, dengan tuntutan agar Fadli mencabut pernyataannya dan meminta maaf secara publik.
Sebagai menteri kebudayaan, Fadli berambisi menjadikan Indonesia “Ibu Kota Kebudayaan Dunia” lewat proyek seperti revitalisasi Direktorat Sejarah. Namun, latar belakang politiknya sebagai pendiri Gerindra dan kader dekat Prabowo membuat banyak pihak curiga bahwa revisi sejarah adalah alat legitimasi kekuasaan.
Kontroversi ini menguak pertarungan antara narasi resmi vs memori korban. Di satu sisi, Fadli ingin sejarah menjadi “pemersatu”, tetapi di sisi lain, penyangkalannya atas Mei 1998 justru memecah bangsa dan mengubur keadilan. Proyek revisi sejarahnya akan menjadi ujian: apakah benar untuk kemajuan kebudayaan atau sekadar pembersihan catatan kelam rezim lama?